Selasa, 10 Maret 2015

Jangan Tiup Lilin, Aku Belum Mau Mati!

Puisi ini bisu, pilu dalam setangkai waktu.
Terasa-asa, 30 tahun berlalu.
Usia tak lagi unyu, masih pula berpuisi.
Jangan tiup lilin, Aku belum mau mati!

Tuhan, berikan aku kesehatan dari segala kesedihan.
Menempatkan bahtera dalam kerinduan.
Satu kehangatan istri, dan beberapa anak. Mungkin lima nanti.
Tapi jangan tiup lilin, Aku belum mau mati!

Menghitung langkah, yang Kuhabiskan.
Tersesat dalam batangan rokok, dan cangkiran kopi.
Tuhan, berikanlah satu puisi penuh ampunan.
Tapi jangan tiup lilin, Aku belum mau mati!

Menghitung langkah, yang Kunikmati.
Udara bagaikan candu, air dan keangkuhan merayakan.
Tuhan, ajarilah syair penuh kesyukuran.
Tapi jangan tiup lilin, Aku belum mau mati!

Hidup tak lepas dari angan-angan.
PetunjukMu-lah Tuhan, suatu harapan.
Aku ingin lapang di langit, juga kini di bumi.
Tapi jangan tiup lilin, Aku belum mau mati!

Dek, kita sudah sedekat ini, dan terus memahami arti diri.
Tenang saja, saat Kamu keluhkan sakitnya kepala;
Pasti ikut Aku merasakan peningnya.
Tapi jangan tiup lilin, Aku belum mau mati!

Dek, masih kuurai satu persatu, dari ujung rambutmu Aku mulai belajar mencintai.
Dan setiap nafasmu yang tak henti Kuhirup.
Hiduplah, hidup. Hidup saja dan bahagia, cukup.
Tapi jangan tiup lilin, Aku belum mau mati!

Dek, dalam kegamangan 'kan berdiri rumah kita.
Perlahan dan sabar, karena sedang kutanam senyummu di tiap sudut ruangnya.
Di sana kita bermandikan puisi, dan tawa riang bocah yang kita isi.
Tapi jangan tiup lilin, Aku belum mau mati!

Jiwa ini palsu, kudapati terkapar dalam puisiku.
Ibulah jiwaku, tema terindah dalam lamunanku.
Hidup dalam sanubari, 30 tahun doanya menjadikan Aku lelaki.
Jangan tiup lilin, Aku belum mau kita mati!

Dek, jangan tiup lilin, aku belum mau mati!
Di ujung sajak ini, sayangku.. Dan disisa usiaku;
Kau hadiahi dengan ciuman, dengan fajar dan senja hari,
yang tak pernah pudar terkikis waktu. (stillpoke)


Hidup indah, untuk kami.